Melung 11/2/2013, Kesederhanaan masyarakat desa itu karena memang secara ekonomi masyarakat desa kurang mampu dan secara budaya memang tidak suka menyombongkan diri. Sederhana adalah merupakan salah satu ciri masyarakat pedesaan, sederhana dalam arti apa adanya dan tanpa dibuat-buat. Begitu pun dengan perkataan dan perbuatan tanpa dibuat-buat atau mungkin lebih tepatnya “cablaka” kalau dalam bahasa BANYUMAS.
Dalam berbicarapun mereka apa adanya, dan mereka tidak peduli apakah itu menyakiti orang lain atau tidak karena memang mereka hanya berbicara apa adanya tanpa bermaksud untuk menyakiti orang lain, kejujuran itulah yang ingin disampaikan.
Masyarakat desa benar-benar memperhitungkan kebaikan orang lain yang pernah diterimanya sebagai imbalan untuk dapat membalas budi baiknya. Balas budi ini tidak selalu dalam wujud material tetapi juga dalam bentuk penghargaan sosial atau dalam bahasa Jawa biasa disebut dengan “ngajeni”. Jadi jangan pernah berjanji kalau sekiranya tidak akan bisa mewujudkan janjinya. Karena masyarakat desa jika diberi janji akan selalu diingat oleh mereka, apalagi kalau janji itu berkaitan dengan kebutuhan mereka.
Bicara balas budi terkadang hal ini dimanfaatkan bagi mereka yang mempunyai kepentingan baik secara pribadi maupun kelembagaan. Mereka akan dengan mudah untuk memberikan sebuah iming-iming atau janji kepada masyarakat desa. Yang karenanya memang sudah tahu tentang karakteristik masyarakat desa, dan memberikan janji manisnya kepada masyarakat desa.
Ibarat roda pasti akan berputar, yang biasanya dibawah suatu saat akan diatas begitupun sebaliknya. Dan yang biasanya mudah dikasih umpan janji-janji kini tak percaya lagi dengan yang namanya janji-janji. Dan rasa “ngajeni” sebagai ciri masyarakat pedesaan juga kian lama kian memudar, sangat disayangkan memang akan tetapi semua itu bukan salah masyarakat pedesaan. Dan hilangnya rasa “ngajeni” bukan satu-satunya ciri-ciri masyarakat desa yang memudar rasa kegotongroyongan juga mulai menipis.
Hilangnya rasa kegotongroyongan sebagai ciri masyarakat desa, salah satunya diakibatkan karena dalam setiap gerak langkah di nilai dengan uang. Dalam mencari dukungan kepada masyarakat misalnya, setiap pemilu pasti akan mengeluarkan atau memberikan uang yang dalam bahasanya “uang transport”. Dan kebiasaan memberikan Uang transport ini yang pada akhirnya merontokkan budaya gotong-royong, karena terlanjur keenakan dengan menerima sesuatu tanpa harus bekerja keras dan itu menguntungkan.
Celakanya ketika hal tersebut sudah dijadikan kebiasaan oleh masyarakat desa, yang pada akhirnya ketika harus mengumpulkan orang dalam lingkungan RT (Rukun Tetangga) saja mereka akan bertanya “Ana amplope ora?”. Dan lama kelamaan ini menjadi kebiasaan bagi masyarakat desa yang sebenarnya sudah baik dengan memiliki ciri-ciri kesederhanaan, menjunjung tinggi “unggah-ungguh”, guyub, kekeluargaan, berbicara apa adanya dan juga gotong royong lambat laun akan hilang.