“Waktu itu seingat saya sekitar tahun 1978, pokoknya sehabis pemilihan umum mulai diadakan rapat-rapat (musyawarah) untuk menentukan lokasi buat lapangan.” Mulyawiraji (67) mengawali ceritanya tentang proses pembuatan lapangan Desa Melung.
Keinginan warga masyarakat Desa Melung untuk memiliki sebuah tanah lapang akhirnya terwujud. Walau untuk itu semua harus ditebus dengan kerja keras. Siang malam warga masyarakat Desa Melung bekerja gotong royong membongkar dan meratakan tanah untuk dijadikan lapangan. Jika malam hari mereka mempergunakan obor dan lampu petromak sebagai alat penerangan.
Gugur gunung (kerja gotong royong) pembuatan lapangan ini melibatkan hampir seluruh warga masyarakat, secara bergiliran yang setiap harinya lebih dari sepuluh orang. Jika pada siang harinya mereka yang sudah terjadwal tidaak bisa mengerjakan maka pekerjaan tersebut di kerjakan pada malam harinya. Setelah kerja keras hampir dua bulan akhirnya proses pembuatan lapangan dapat diselesaikan.
Lokasi dan geografis Desa Melung yang berbukit-bukit sehingga untuk mencari tanah yang agak datar dan letak yang strategis juga kesulitan. Sehingga ketika mendapat lokasi yang sekiranya strategis dan kebetulan tanah tersebut milik warga masyarakat, upaya untuk membujuk dan pertukaran tanah untuk dijadikan lapangan. Tawar menawar melalui beberapa kali musyawarah akhirnya mencapai kesepakatan dan warga yang memiliki tanah akhirnya mau tanahnya ditukar untuk membuat lapangan.
Memang dalam proses pembuatan lapangan banyak membutuhkan pengorbanan termasuk juga dalam hal tukar menukar antara tanah warga masyarakat dan tanah suksara desa. Yang tentu saja secara luas lebih luas tanah suksara desa untuk penukaran tanah untukpembuatan lapangan desa. Kala itu memang warga masyarakat Desa Melung lebih memprioritaskan pembuatan lapangan ketimbang untuk membuat kantor desa atau balai desa, demikian Mulyawiraji mengakhiri certanya.
898 total views, 3 views today